A. Latar Belakang Masalah
Shalat
tarawih hanya disyariatkan
di dalam bulan Ramadhan. Di
luar Ramadhan, tidak
disyariatkan shalat tarawih.
Meski pun seseorang melakukan shalat sunnah pada malam hari, namun kalau bukan
di dalam bulan Ramadhan, namanya
bukan tarawih, melainkan
sekedar shalat malam atau tahajjud.
Tarawih Bukan Tahajjud
Rasulullah
SAW tiap malam
secara rutin mengerjakan shalat tahajjud, baik di dalam
bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.
Namun di luar
shalat-shalat malamnya itu, secara
khusus di malam
bulan Ramadhan beliau mengerjakan
satu jenis shalat
sunnah khususu dan unik, yang kemudian disebut dengan shalat
tarawih. Perbedaan paling signifikan
antara shalat tarawih dengan tahajjud adalah pada bulannya.
Shalat tarawih hanya dilakukan di malam
bulan Ramadhan, sedangkan
shalat tahajjud dikerjakan kapan
saja, baik di
dalam bulan
Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan. Selain itu,
shalat tarawih dikerjakan
di awal malam bergandengan dengan
shalat Isya’, yang
dicontohkan oleh Nabi SAW
secara berjamaah di
masjid. Sedangkan shalat tahajjud dikerjakan di akhir malam
setelah bangun dari tidur, lebih
sering beliau mengerjakannya secara
sendirian di rumah beliau,
walau pun ada
riwayat pernah dilakukan dengan berjamaah di masjid.
Waktu
yang paling utama
untuk melaksanakan shalat malam atau tahajjud ini adalah
sepertiga malam terakhir atau menjelang
fajar.
B. Tujuan Penulisan adalah :
- Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang Eksistensi Solat tarawih
- Untuk menjelaskan Rakaat sholat tarawih menurut hadist sohih Nabi Muhammad SAW.
C. Manfaat Penulisan adalah :
- Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah khasana keilmuan Islam khususnya tentang Shalat tarawih .
- Juga dapat dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan dan dapat memberikan dorongan kepada kita semua Umat Muslimin & Muslimat dalam memperbanyak Ibadah dibulan Romadhon diantaranya sholat tarawih dengan tuntunan Rosulullah yang telah disabdakan pada beberapa hadist Sohihnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sholat
Tarawi
Secara bahasa, kata tarawih (تراويح) adalah bentuk jama' dari bentuk
tunggalnya, yaitu tarwihah (ترويحة)
Maknanya secara bahasa adalah istirahat. Tapi yang dimaksud
adalah duduk dengan jeda
waktu agak lama
di antara rangkaian rakaat-rakat
shalat itu. Secara syariah,
shalat tarawih adalah
: shalat sunnah yang
hanya dilakukan pada malam bulan Ramadhan, dengan dua-dua rakaat,
dimana para ulama
berbeda pendapat tentang
jumlahnya.[1]
Shalat tarawih
dikenal sebagai shalat
yang dilakukan pada malam
bulan Ramadhan. Dahulu
Rasulullah SAW pernah
melakukannya di masjid bersama dengan beberapa shahabat. Namun
pada malam berikutnya,
jumlah mereka menjadi bertambah
banyak. Dan semakin
bertambah lagi pada malam
berikutnya. Sehingga kemudian
Rasulullah SAW memutuskan untuk tidak
melakukannya di masjid
bersama para shahabat. Alasan yang
dikemukakan saat itu
adalah takut shalat tarawih itu diwajibkan. Karena itu
kemudian mereka shalat sendiri-sendiri.
B. Sejarah Sholat
Tarawih
Shalat Tarawih merupakan Sunnah Abad yang dikerjakan oleh Ummat Islam
pada Bulan Romadhon kemudian waktu solat tarawih dilaksanakan pada
waktu setelah isyak dan umumnya dilakukan secara berjamaah di Masjid.
Fenomena yang terjadi bahwa ketika itu Rosulullah melakukan Solat
Tarawih secara berjamaah.
Dalam 3 kali kesempatan sejarah ini bermula pada waktu
Rasulullah masuk Masjid pada malam tanggal 23 Romadhan tahun keduan
Hijriah. kemudian Rosulullah melakukan Sholat. maka dari itu sholat
tersebut dinamakan solat tarawih. Malam berikutnya pada tanggal 25,
Rasulullah kembali ke masjid untuk melkukan Solat, pada saat itu para
sahabat bertambah banyak. dan pada tanggal 27 Ramadhan juga melakukan
solat. Kemudian malam-malam selanjutnya para sahabat menuggu untuk solat
Tarawih, dan pada tanggal 29 Romadhon para sahabat menunggu nabi,
ternyata nabi belum juga hadir.
Pada riwayat yang lain juga disebutkan Dahulu Rasulullah
SAW pernah melakukan
shalat tarawih di Masjid
bersama dengan beberapa
shahabat. Namun pada malam
berikutnya, jumlah mereka
menjadi bertambah banyak. Dan semakin bertambah lagi pada malam berikutnya.
Sehingga kemudian Rasulullah SAW memutuskan untuk tidak melakukannya
di masjid bersama
para shahabat. Alasan yang
dikemukakan saat itu
adalah takut shalat tarawih itu diwajibkan. Karena itu
kemudian mereka shalat sendiri-sendiri. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhori sebagai berikut.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ
اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ
النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ
فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ
الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ
عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا
قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ
عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al
Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepada saya 'Urwah bahwa
'Aisyah radliallahu 'anha mengabarkannya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pada suatu malam keluar kamar di tengah malam untuk melaksanakan
shalat di masjid. Maka orang-orang kemudian ikut shalat mengikuti shalat Beliau.
Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut sehingga pada
malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat
dengan Beliau. Pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian
tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid
semakin bertambah banyak lagi lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
keluar untuk shalat dan mereka ikut shalat bersama Beliau. Kemudian pada malam
yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah hingga akhirnya Beliau keluar
hanya untuk shalat Shubuh. Setelah Beliau selesai shalat Fajar, Beliau
menghadap kepada orang banyak kemudian Beliau membaca syahadat lalu bersabda:
"Amma ba'du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam).
Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian
menjadi keberatan karenanya". Kemudian setelah Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam meninggal dunia, tradisi shalat (Tarawih) secara berjamaah terus berlangsung
seperti itu.[2]
Hingga
datang masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab yang menghidupkan
lagi sunnah Nabi
tersebut seraya
mengomentari,”Ini adalah sebaik-baik
bid'ah”. Maksudnya bid‘ah secara
bahasa yaitu sesuatu
yang tadinya tidak ada lalu
diadakan kembali. Semenjak itu,
umat Islam hingga
hari ini melakukan shalat yang
dikenal dengan sebutan
shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam
Ramadhan.
C. Dasar Hukum Solat Tarawih
Tradisi menjalankan ibadah shalat tarawih adalah
tradisi yang dilandasi dengan
dalil-dalil yang Qath’i,
baik secara sanad maupun secara
dilalah. Shalat tarawih adalah sunnah Rasulullah SAW
yang kemudian menjadi
tradisi seluruh bangsa muslim
di dunia untuk
melaksanakannya, meski hukumnya
bukan wajib tetapi sunnah. Dasaarnya adalah apa yang dikerjakan oleh Rasulullah
SAW
:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا
اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي
الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا
فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ
فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ
فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا
بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ
أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ
عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ
عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا
عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al
Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepada saya 'Urwah bahwa
'Aisyah radliallahu 'anha mengabarkannya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pada suatu malam keluar kamar di tengah malam untuk melaksanakan
shalat di masjid. Maka orang-orang kemudian ikut shalat mengikuti shalat
Beliau. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut sehingga
pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut
shalat dengan Beliau. Pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan
kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di
masjid semakin bertambah banyak lagi lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam keluar untuk shalat dan mereka ikut shalat bersama Beliau. Kemudian
pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah hingga akhirnya
Beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah Beliau selesai shalat Fajar, Beliau
menghadap kepada orang banyak kemudian Beliau membaca syahadat lalu bersabda:
"Amma ba'du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian
(semalam). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga
kalian menjadi keberatan karenanya". Kemudian setelah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dunia, tradisi shalat Tarawih secara berjamaah terus berlangsung
seperti itu.[3]
D. Rakaat Sholat
Tarawih & Pendapat Ulama’
Rakaat
tarawih yang dikerjakan Rasulullah adakalanya 8 rakaat dan adakalanya sepuluh
rakaat, tidak lebih dari pada itu. Sesudah itu menutup dengan sunnat witir,
sehingga berjumlah sebelas rakaat.
Diriwayatkan
oleh Al-Jama’ah dari Aisyah RA.:
انه صلى الله عليه وسلم ماكان يزيد في رمضان ولا غيره
على احدى عشرة ركعة
“Bahwasanya nabi
SAW. Tiada mengerjakan shalat malam, baik di ramadlan, maupun dilainnya, lebih
dari sebelas raka’at.” (H.R. Al Bukhary dan Muslim[4]).
Diriwiyatkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah
dalam Shahih-nya dari Jabir R.A., :
انه صلعم صلى بهم ثماني ركعات والوتر فانتظروه في القابلة فلم يخرج اليهم .
“Bahwasanya Nabi SAW.
Mengerjakan shalat dengan mereka ( para sahabat) delapan raka’at dan
mengerjakan witir. Kemudian mereka menanti kedatangan rasulullah di malam
berikutnya, maka rasulullah tiada keluar masjid”[5]
Diriwiyatkan
oleh Abu Ya’la dan Ath Thabrany dari jabir, ujurnya :
“Ubay
ibn Ka’ab datang kepada Rasulullah dan berkata : “Ya Rasulullah, saya telah
berbuat sesuatu, semalam” ( hal ini terjadi dalam bulan Ramadlan). Nabi
bertanya : “Apakah yang telah engkau lakukan itu?” ubay menjawab “ada beberapa
orang wanita di rumahku berkata : kami tidak bisa membaca al-Quran ( kami tidak
banyak menghafal surat-surat Al Qur’an ), maka kami tidak dapat mengerjakan
shalat sebagaimana yang engkau kerjakan.” Karena itu sayapun bershalatlah
dengan mereka, sebanyak delapan raka’aat dan kemudian saya berwitir, “mendengar
itu Nabi SAW, tidak mengatakan apa-apa. Maka perbuatan Ubay itu menjadi suatu
“Sunnatur Ridla’ ”.
Ringkasanya, rakaat yang shas
diperoleh dari Nabi SAW. Hanyalah delapan raka’at. Akan tetapi di masa Umar
RA., ‘Utsman RA. Dan Ali RA dikerjakan dua puluh raka’at.
Jumhur fuquha, baik dari golongan
Hanafiyah, Syafiiyah, Hanabiliyah dan daud menetapkan demikian, yakni dua puluh
raka’at. Demikian pulalah pendapat Ats Tsaury, Ibnul Mubarak dan Asyafi’iy.
Malik berpendapat, bahwa bilangan
raka’at, “Qiyamullail” 36 raka’at selain dari witir.
Kata
Az-Zarqany: “Ibnul Hibban menerangkan, bahwa tarawih pada mulanya adalah
sebelas raka’at. Para salaf mengejarkan shalat itu dengan memanjangkan bacaan.
Kemudian mereka merasa berat, lalu mereka meringankan bacaan dan menambah
rakaat; mereka mengerjakan sebanyak dua puluh raka’at dengan bacaan yang
sederhana. Yang dua puluh itu adalah yang selain dari syafa’ dan witir. Dan
terus meneruslah berlaku yang demikian.[6]
Sebagai ulama’ berpadapat, bahwa :
yang disunnatkan hanyalah sebelas rakaat beserta witir, yang selain daripadanya
adalah mustahab ( sunnat yang tidak di muakkadahkan).
Kata Al Kamal Ibnul Humam: dalil yang
kita peroleh dalam masalah ini menghendaki atau menetapkan, bahwa yang sunnah
dari yang dua puluh raka’at beserta witir, kemudian Nabi SAW, meninggalkannya,
karena takut akan difarduhkan. Selain itu adalah mustahab. Dan telah diperoleh
keterangan-keterangan yang nyata bahwa yang dikerjakan Nabi SAW, hanyalah
sebelas rakaat beserta witir, sebagai yang isebut dalam Al-Bukhari-Muslim.
Kalau demikian adalah yang disunnatkan menurut dasar ulama-ulama kami, hanyalah
yang delapan rakaat, sedang dua belas rakaat, adalah mustahab. Adapun hadist
yang diberitakan oleh ‘Abd. Ibn humaid dan Ath-Thabrany dari Abbas, :